Beasiswa Dan Lika-liku Mengurus Berkas Ke Filipina

Kepada Chief Editor saya tiga setengah tahun lalu saya hanya bilang, “Mas, suatu saat saya akan sekolah lagi.” Berkat esai, contoh-contoh karya, dan rekomendasi senior, saya mendapat beasiswa MA in Journalism.

Beasiswa itu diberikan Ateneo de Manila University untuk masa belajar 2014-2016 yang dimulai pada 16 Juni besok. Minggu depan memang saat kuliah, tapi untuk memulai itu rasanya saya harus melewati saat-saat yang tidak enak. Saya akan bercerita agar siapa tahu bisa berguna bagi rekan jurnalis lain atau yang tertarik untuk melanjutkan studi ke Filipina.

Hal pertama yang diperlukan untuk mendapat beasiswa ini adalah contoh karya berbahasa Inggris (tulisan saya yang berbahasa Indonesia harus saya translate dulu), esai, dan rekomendasi. Esai saya buat pendek dan tidak muluk-muluk. Saya hanya menuliskan visi saya di jurnalistik dan kenapa saya pantas mendapat beasiswa ini.

Kemudian rekomendasi. Saya meminta jurnalis senior dan editor untuk memberikan rekomendasi bagi saya, caranya adalah dengan mengirim mereka lewat e-mail contoh karya saya agar mereka dapat menilai dengan baik.

Setelah berkas saya kirim lewat pos, saya kemudian ditelepon untuk jadwal wawancara. Saya membayangkan apa saja yang akan saya ceritakan saat wawancara. Saya mencoba berbicara di depan cermin. Dan ketika wawancara itu berlangsung, karena gugup saya lupa menyalakan video di skype, padahal saat itu saya telah mengenakan kemeja rapi (kalau tahu begitu saya memilih hanya pakai kaus oblong. hehe).

Doktor pewawancara saya menanyakan tentang bagaimana saya menjalani hidup setelah menjadi freelancer, apa yang akan saya lakukan 10 tahun ke depan, dan apakah saya memiliki sambungan internet yang bagus karena sebagian perkuliahan akan dilakukan secara online (jadi saya tak perlu terus-terusan berada di Manila). Ia juga bertanya apakah saya suka membaca? Tentu kujawab iya, karena saya selalu membawa buku di tas saya. Gunanya untuk membunuh waktu saat menunggu narasumber atau angkutan umum.

Mengurus Surat-surat

Hal yang paling melelahkan adalah mengurus berkas. Menyita waktu, biaya, dan kesabaran. Mengurus surat membuat orang bertambah tua dua tahun dari usia aslinya. Pertama saya harus kembali ke kampus untuk meminta salinan ijazah dalam bahasa Inggris (saya menyayangkan universitas negeri tempat saya belajar tidak membuatnya dalam dua bahasa sekaligus). Tentu menerjemahkan ijazah dan transkrip nilai tidak bisa seketika jadi. Harus menunggu beberapa waktu.

Kemudian saya perlu catatan kriminal atau SKCK. Untuk mendapat SKCK saya harus ke kelurahan, ke Polsek, dan Polres. Bayangkan bila seseorang bekerja di Jakarta sementara ia harus kembali ke kelurahan di Papua sana. Bayangkan mudahnya urusan seperti ini bila catatan kriminal seseorang bisa diakses dari kota manapun karena data yang telah terintegrasi.

Lalu ini belum cukup. Surat-surat tersebut harus dilegalisasi oleh Departemen Hukum dan HAM, lalu Departemen Luar Negeri, dan terakhir oleh Philippine Consulate. Sementara catatan kriminal harus dikeluarkan Mabes Polri yang sebelumnya oleh Kepolisian Daerah (Polda). Yang mustahil adalah kampus baru saya memberi waktu seminggu untuk kesemua legalisasi berkas tersebut. Saya kemudian meminta dispensasi waktu tambahan.

DI DEPKUMHAM: Legalisasi di departemen ini adalah di bagian Administrasi Hukum Umum (AHU). Setelah mengambil nomer, pemohon legalisasi harus menunggu antrean yang hanya dilayani oleh satu petugas. Khusus untuk legalisasi berkas, harus mengantre cukup lama, sementara pengurusan administrasi lain lebih cepat karena dilayani oleh banyak petugas.

Kabar buruknya adalah ijazah dan transkrip nilai berbahasa Inggris saya yang ditandatangani Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sebelas Maret, tidak ada spesimen tanda tangannya. Si petugas memberi pilihan, saya kembali pulang ke Solo untuk meminta tanda tangan si Pak Dekan beserta cap jempolnya, atau mencari notaris untuk mengesahkan. Yang terlintas di kepala saya adalah, “Apa selama ini tidak ada lulusan Fisip UNS di masa kepemimpinan Pak Dekan X yang sekolah ke luar negeri sehingga spesimen tanda tangannya tak terekam?” Tapi entah kenapa di luar gedung AHU terdapat jasa notaris dari Purwakarta berpraktik melegalisasi dokumen di Depkumham (ke mana notaris Jakarta?). Karena terdesak waktu, saya menggunakan jasanya. Hal yang sama terjadi pada nama polisi yang melegalisasi SKCK saya di Jawa Tengah yang ‘tak dikenali’.

Setelah mengulang antrean saya berhasil memasukkan dokumen saya. Kemudian membayar di loket BNI, dan disuruh menunggu empat hari kemudian untuk pengambilan berkas. Saya memasukkan berkas hari Selasa dan harus kembali di hari Jumat. Bleh! Saya harus berpikir tentang tempat tinggal karena kos saya di Jakarta telah habis. Dan terpaksa tinggal di hotel yang menguras kocek.

Mencoba peruntungan, saya kembali ke Depkumham di hari Kamis dan saya tidak mendapat hasil apa-apa. Saya tidak habis pikir kenapa dua hari tidak cukup hanya sekadar untuk membubuhkan cap dan tanda tangan. Petugas loket bilang bahwa pada Jumat mendatang pukul 08.00 WIB saat kantor buka, berkas saya bisa diambil.

Di hari Jumat pukul 08.40 WIB saya kembali ke kantor AHU di Depkumham di Jalan Rasuna Said. Setelah mengantre beberapa saat tibalah giliran saya. Dan ternyata berkas saya belum ada di sana. Saya memaksa untuk bisa bertemu dengan orang yang bertanggungjawab mengurus berkas saya. Lalu petugas loket memberi nama Ibu Sri di gedung yang berbeda. Saya segera menuju gedung yang terletak di bagian depan di lantai 5. Bertemu Ibu Sri, ia hanya mengatakan berkas saya sudah di bagian Tata Usaha dan tak lama lagi akan sampai di loket. Pria yang membantunya bekerja (yang hanya terlihat mondar-mandir tanpa mengerjakan apapun) ikut bilang bahwa hanya perlu beberapa menit bagi berkas saya untuk sampai di loket.

Saya tidak percaya. Saya kemudian ke bagian Tata Usaha dan ternyata berkas saya belum dicap! Staf bernama Pak Nuri meminta saya menunggu di loket di bawah di seberang gedung, tapi saya bersikukuh menunggu berkas saya dicap. Akhirnya berkas saya dicap dan diserahkan langsung ke saya setelah  menandatangani berita acara. Lagi-lagi kinerja departemen yang lamban membuat saya jengah. Padahal saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tumpukan map berisi berkas yang mereka kerjakan tak lebih tinggi dari botol kecil air mineral!

DI DEPLU: Dari Depkumham saya naik ojek menuju Deplu untuk mengejar waktu. Di departemen ini tak perlu bertele-tele. Berkas yang saya ajukan dicek, lalu saya diminta mencari materai. Saya mencari warung penjual materai, kembali ke Deplu, lalu membayar biaya administrasi pengurusan berkas. Berkas saya akan selesai pada Senin pekan depan pada pukul 15.00 WIB. Mbak Elly dari The Jakarta Post yang juga memeroleh beasiswa memberitahu saya, rupanya departemen ini hanya mengeluarkan berkas pada jam 3 sore.

DI KEDUTAAN: Setelah transkrip nilai saya terlegalisasi oleh Deplu saya akan langsung meluncur ke Kedutaan Filipina. Di depan Deplu selalu ada ojek yang mangkal, tapi mereka mempunyai tarif ajaib. Dari tarif Rp 40 ribu bisa ditawar menjadi Rp 20 ribu. Saat lalu lintas padat, Kedutaan Filipina dapat dijangkau dalam waktu sekitar 10 menit menggunakan ojek. Awalnya si Pak Ojek tua ini pura-pura tidak tahu letak kedutaan. Tapi karena saya telah punya arah dari google map, tipu muslihat ojek ini tak berhasil. Dari tidak tahu tiba-tiba ia malah menunjukkan alamatnya secara persis, “Itu mas, yang nomer 25…” saat tiba di Jalan Imam Bonjol. Meski begitu saya iba juga padanya melihat bekal makan siangnya.

Pengurusan ‘authentication’ di Kedutaan Filipina mudah. Hanya perlu tanda pengenal saat masuk dan di dalam kedutaan ada petugas yang akan menanyakan keperluan kita. Saya serahkan dokumen, dicek, dan diberi tanda terima. Satu berkas biayanya Rp 325 ribu. Tapi sebagai arsip mereka, kita diwajibkan memiliki fotokopian. Karena berkas saya belum terfotokopi, si petugas menawari fotokopi Rp 1000 per lembar (10 kali lipat ongkos fotokopi di jalan). Dan karena uang saya utuh, maka si petugas tak memberi saya uang kembalian. Kenapa saya tidak memintanya? Karena saya ingin menuliskannya di sini. Artinya adalah apapun pekerjaan orang, berapapun gaji seseorang, manusia tidak pernah cukup pada uang 🙂

Berkas saya itu akan bisa diambil di hari Rabu sore. Wahai saudara, birokrasi di dua negara ini ternyata sama saja. Lalu perjalanan saya tidak berhenti di sini. Bulan depan saya harus mengurus visa pelajar. Saya menghela nafas…sekaligus menyemangati diri sendiri agar tidak ngos-ngosan.

 

 

 

About taufanwijaya

Konten terbaru silakan mengunjungi Instagram dan Youtube. @taufanwijaya_
This entry was posted in omongan and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink.

10 Responses to Beasiswa Dan Lika-liku Mengurus Berkas Ke Filipina

  1. meccisti says:

    Wah jadi kembang kempis sendiri mau berkejaran mengurus legalisiran di Kemenhukam, Kemenlu, dan Kedutaan Filipin. Mohon doa Mas Taufan ya saya sedang ikut seleksi Asian Peacebuilder Scholarship (APS) di Ateneo de Manila University juga. Terima kasih sharingnya, Mas. Mas Ahmad Fuadi juga senior saya di Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta. Beliau pernah menyemangati saya setelah membantu menjadi moderator saat Beliau jadi pembicara di Stadium Generale angkatan ke-18 FLP Jakarta. Sukses ya Mas Taufan. 🙂

    Salam,
    Isti

    • taufanwijaya says:

      Mbak Isti,
      Tetap semangat dan semoga sukses dengan scholarship-nya ya.
      Soal tips wawancara, bang Fuadi jagonya 🙂

      Salam hangat,
      taufan

    • meccisti says:

      Siap, Mas Taufan. Bismillah semangat! 🙂
      Saya kira bisa langsung legalisir di Kemlu, ternyata harus ke Kemenkumham. Gedung buat legalisir yg di Pejambon lagi direnovasi, jadi mesti lari ke Pusdiklat di Sisingamangaraja. Terus di Kemenkumham krn univ saya swasta jadi harus dilegalisir dulu di Dikti atau Notaris terkait spesimen tanda tangan Rektor. Seperti ada kongkalikong antara petugas dengan penjaga nomor antrian dan notaris. Akhirnya legalisir notaris per lembarnya 100ribu bisa ditunggu. Waktu tunggu 3 hari kerja minus Sabtu Minggu, jadi Rabu nanti bisa diambil dan bisa ke Kemlu.

      Ternyata benar2 berlika-liku. Macam2 ceritanya. Cerita Mas dan saya berbeda, tapi sama2 banyak perjuangannya.

      Beruntung legalisir Kedutaan Filipin nanti utk seleksi tahap ke-2. Krn kalaupun sekarang, ga sempat sampai deadline kesempatan kedua yg mereka kasih.

      Ngomong2 saya daftar Asian Peacebuilder Scholarship (APS), kalau Mas Taufan? 🙂

    • taufanwijaya says:

      Pantang menyerah ya, mbak. Kalau nanti sekolahnya graduate, perlu cap lagi di dept. quaranteen di sana untuk extend student visa. Sy ambil MA in Journalism.

    • meccisti says:

      Wah gitu ya. Siap. Makasih infonya, Mas Taufan. 🙂

      Kalau boleh apa saya boleh minta tolong minta pendapat Mas tentang Statement of Purpose saya? Mereka minta saya merevisi SoP saya.

    • taufanwijaya says:

      Boleh. Bisa dikirim ke email sy di taufan@taufanwijaya.com
      Maaf agak telat tahu komen ini.

  2. Hallo Mas Taufan. Mau tanya, apakah ada info untuk agent study yang bisa urus aplikasi ke Filipina?

  3. Super sekali bro, semangat #salamjepretmaspurbatam

Leave a comment